Cari Blog Ini

Selasa, 05 Desember 2017

Pohon Mangga yang Alhamdulillah Bermanfaat ❤

Ada yang selalu aku pandang setiap hari. Pohon mangga depan garasi. Sebenarnya, pohon ini bukan milik keluarga inti kami, tapi milik eyang yut dulu yang otomatis milik anakny sekarang yang masih hidup, yaitu eyang ku, tepatnya kakak sepupu mbah kakung-ku. Coba pahamilah struktur keluarga kami yang kompleks!
Jadi, tiap hari aku menyapu daun-daun pohon mangga ini yang gugur, lebih tepatnya bukan daun pohon mangga yang gugur, tapi daun benalunya yg lebih banyak jatuh. Tapi anehnya, walaupun banyak benalu, pohon ini berbuah banyak. Walaupun berbuah banyak, buahnya tidak semanis mangga biasanya karena terdampak air hujan. Entah kenapa, air hujan jadi kambing hitam atas rasa yang tag sempurna para mangga. Bapakku belum lama ini juga memanen mangga-mangga dari kebunnya yang nun jauh d kaki gunung lawu bagian utara dan semua rasanya aneh. Mbah Uti kemudian inisiatif beli karbit utk mempercepat proses pematangan si mangga, tapi tetep saja gagal. Jadi adhek-adhekku suka makan mangga di mangkuk tp dikasih gula.Hahahahaha 😂😂😂😂😂
NB: Nanti tanya Uti lagi yah tentang peran air ujan dibalik rasa tak sedap mangga

Singkat cerita, buah-buah mangga pohon tersebut pun tidak dipanen. Jadi dibiarkan jatuh karena membusuk atau dimakan hewan. Kalah sudah jatuh akan berakhir di tempat sampah jadi pupuk atau kolam jadi santapan gurame. Alhamdulillah masih ada manfaatnya.
Suatu hari yang sangat sedih, di senja yang indah. Aku rebahan di kasurku. Aku memandang pohon itu. Dari lantai atas rumah, pohon itu hanya terlihat setengahnya saja, daun mangga dan daun benalu. Tapi di sela-sela itu, ada burung gereja kecil yang bertengger. Entah sejak kapan banyak burung gereja membuat sarang di ventilasi rumah laintai atas. Jadi burung-burung itu bertengger juga di ranting-ranting pohon mangga. Alhamdulillah pohon mangga ini masih juga ada manfaatnya.
Selain burung gereja yang bertengger, pohon ini juga merindangkan pekarangan. Kadang, adhek-adhekku mancing di kolam dengan ditunggui kami, orang dewasa, dan kami memilih duduk di pinggir kolam yang dinaungi pohon mangga ini. Selain itu, Ibu menaruh bangak pot-pot bunga berdempetan di bawah pohon mangga tersebut. Alhamdulillah masih ada lagi manfaat pohon ini.

Pohon mangga ini memberikan aku banyak hilmah. Memberikan aku bangak inspirasi. Aku berfikir, Allah menciptakan makhluk-Nya bukan tanpa sebab. Mereka semua memiliki keguanaan, peran, tempat, andil masing-masing di dunia ini. Sejelek apa pun terbaca nasibnya di mata awam ini, di balik penglihatan awam tersebut, Allah memberikan banyak hal untuk direnungkan dan disyukuri. Aku senang memandang pohon mangga ini, akhir-akhir ini, aku merasa dia ada untuk menghiburku di saat aku gagal seperti ini.

Sabtu, 09 September 2017

Hujan malam ini

Malam ini
hujan turun
di balik kesadaran
aku mengerjap

hujan,
memberikan ketenangan
hujan terhenti
habis sudah

tidak ada matahari hari ini
sisa hujan
kelabu
nona manis meringkuk
meringkuk d peraduan
sendirian
mengerjap

hujan mengantarkan kesemuan
tidak ada matahari kemudian

hujan merundung
alih-alih mengisi relung
menelusup kering benih
janji menghapus sedih

hujan habis sudah
tanpa membawa ubah
matahati tak bersinar cerah
kebahagian tak bercercah

Sabtu, 17 September 2016

KISAH KLASIK

Tulisan ini adalah curhatan saya yang kesekian kalinya. Tulisan ini mungkin tidak dapat dibaca teman-teman saya seperti dulu kita masih sekolah dan kuliah di waktu dan tempat yang sama. Tetapi, saya masih tetap ingin menulisnya dengan harapan, ada yang membacanya. Saya terlalu menjadi pengecut untuk mengungkapkannya langsung. Tidak hanya itu alasannya, sebenarnya karena saya bingung memulai mengatakannya dari mana. Menurut saya, saya terlalu sentiment terhadap hal-hal yang sepele. Tetapi, tetap saja, menurut saya ini penting.
Tulisan ini saya berani memulainya ketika kegalauan saya mulai muncul lagi ketika melihat tulisan yang diunggah @tweetramalan. Tulisan tersebut tepatnya adalah “Terkadang kamu takut untuk terlalu peduli pada seseorang karena takut bahwa mereka tak peduli sama sekali padamu”. Jujur, saya merasakan hal tersebut. Saya sadar, jika saya merasakan itu, berarti saya tidak tulus, pamrih, ingin mendapatkan balasan. Tetapi, setelah sekian tahun, mungkin 8 tahun terakhir saya merasa usaha saya untuk sekedar menyapa “mereka” yang saya sebut teman tidak lantas membuat saya disebut “teman” juga. Bahkan, kadang mereka yang saya sebut teman dekat, bahkan tidak ingat saya. Oleh karena itu, saya berhenti mengucapkan selamat ulang tahun.
Sekarang ini, era globalisasi (kosa kata ini sering kali muncul di paper, kuliah, tugas, ppt, sampek curhatan ini (“-__- ) ) di mana social media sangat berpengaruh besar terhadap semua-semua kita. Oleh karena itu, saya percaya, social media itu bisa menggantikan waktu dan ruang kita untuk bersua dengan teman-teman. Saya luangkan waktu untuk nye-croll layar hp atau laptop buat “kepo” teman-teman saya. Saya Cuma perlu tahu, mereka semua oke di tempat masing-masing. Kadang saya beranikan komen ketika mereka mengunggah apa yang mereka rasakan di social media. Tetapi, belum lama ini, teman saya sendiri mengatakan secara langsung kepada saya ketika kami bertemu tentang pemikirannya.
“Kamu itu jangan terlalu percaya pada apa yang saya tulis di social media. Itu hanya caraku untuk menarik followers.”
 Hhhhhhhh…TTTTT.TTTTT
Dengan polosnya saya menanggapi kicauannya di sosmed yang seolah-olah menunjukkan dia galau. Saya merasa bodoh jelas. Apa yang saya anggap penting, ternyata hanya sebuah bentuk pembuat imej semata. Dan saya ingat, seketika itu, teman saya menuliskan di akunnya, “jaman sekarang masih ada ya yang percaya sama tweet”. Saya merasa teman saya ini telah menghina perhatian saya. TTTTT.TTTTT . tetapi sejatinya saya tahu, saya hanya mencari kambing hitam atas kenaifan saya yang gag banget. Saya sadar, saya hidup di panggung sandiwara. Kemudian saya menjadi sadar bahwa sosmed tidak sepenuhnya dimaknai dengan penyambung silaturahim. Dan apa yang saya anggap wajar dengan perhatian yang saya berikan kepada teman saya itu dianggap sampah oleh teman saya. Hhhhhhhh. Rubbbbiiissshhesss.
Tidak hanya itu. Saya adalah cewek yang cerewet. Bicara saya banyak, ekspresif, detail, dan penuh emosi. Jadi, ketika teman saya update DP atau PM saya pun komen-komen yang panjang bangeeeetttt. Jadi gini misalnya:

Temen saya update: alhamdulillah ketrima kerja di X
Tanggapan saya : eh, udah ketrima kerja ya??? (send)
                 Alhamdulillah (send)
                 Di mana? (send)
                 Selamat ya…semoga barokah :D
Trus temen saya bales:
    “perasaan saya tulis satu baris, kamu balesnya 4 baris ya..hahahaha"

Trus otak saya macet. Ya udah. Mungkin aku terlalu cerewet. Jadi lebih baik saya diam saja. Selain itu. Kadang chat-chat pribadi saya akan berakhir dalam 5-10 pasang percakapan dengan bentuk saya yang lebih banyak aktif bertanya dan jawaban teman saya adalah:
“iya ma”
“siiip”
“siap”
“alhamdulillah”
“makasih ya”
“doakan ya”
“amin”
Udah. Chat ku selesai. Tanpa mereka nanyain kabarku gimana. Apa aku kangen mereka. Aku kangen mereka, jelas. Lama kelamaan, saya menyerah. Saya hanya akan melihat mereka dari layar hp dan laptop. Ini adalah bentuk keegoisan saya, bentuk pamrih saya, bentuk kepengecutan saya. Saya sakit jelas ketika kami membuat janji,”nanti kalau pulang jangan lupa kabar-kabar ya. Janji lho! Luangkan waktu untuk jalan-jalan sama aku ya!” bahkan sampek berhari-hari di rumah, sampek beberapa foto teman saya dengan teman-temannya yang lain diunggah di Instagram, saya tidak pernah mendapat kejelasan janji yang kami buat.
Saya bingung dengan video-video motivasi yang dibuat motivator-motivaor itu. Luangkan waktu buat teman. Tapi saya sadar, selama ini saya tidak cukup berusaha keras untuk berteman dengan banyak orang. Oleh karena itu saya menerima karma sekarang, bahkan mereka yang saya sebut teman tidak ingat saya adalah teman nya.
Tetapi, di tengah keputusasaan atas keadaan ini, Allah selalu berada dekat dengan saya. Dia mengirimkan saya teman yang “lain”. Disaat mereka yang saya sebut “teman” bahkan tidak mengingat keberadaan saya di bumi, saya memiliki mereka yang lebih dari “teman”.
Saya takut mendefinisikan mereka adalah apa. Saya takut menyebutnya teman karena mungkin saja mereka akan menghilang seperti mereka yang sebut “teman”. Oleh karena itu, saya sebut mereka dengan nama mereka. Saya tidak akan menyebutkan nama mereka satu persatu. Saya akan menyebutkan nama pertalian kita. Haiiii guyyyyssssss :D <3 <3 <3

Thx to teman sma, lonely’s fam
Thx to teman kuliah di AN B, Happy Family
Thx to teman kos, Palupi Sisters
Thx to teman MAP 63, Merpati 25
 Mbak Werda, Amel, Mas Ardy, Mayang, Thoni, Reza, dan adhek-adhek sepupuku…reza, bagas, aufa, ena, husen, sekar, dan om rizki dan om Krishna :D

Selamat Menempuh Hidup Baru untuk teman-teman Happy Family :D


Jumat, 29 April 2016

Kamu

Aku menulis banyak-banyak kata
Tapi,
Aku tak bisa menggambarkan kamu dan aku
Kalau ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Aku ingat cinta
Tapi,
Aku dan kamu tahu

Itu tak ada

Senin, 15 Desember 2014

BEYOND THE BLACKBOARD



Beyond the Blackboard
Directed by
Produced by
Brent Shields & Gerald R. Molen
Written by
Camille Thomasson
Starring
Production company
Country
United States
Language
English
Original channel
Release date
·         April 24, 2011
Running time
100 minutes
Preceded by
Followed by


Salah satu oleh-oleh belajar dari Kampung Inggris adalah film ini. Ini yang dinamakan jodoh. Film yang sudah tayang sejak tahun 2011, baru saya dapat dan lihat di penghujung akhir 2014. Perjodohanlah yang mengijinkan saya melihat film ini. Film ini saya dapatkan dari tutor saya di ELFAST saat sedang tinggal di Camp Orchid. Beliau adalah tutor yang lebih muda dari saya namun telah menguasai Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan saya. Beliau mengatakan kepada saya," Nih lihat, film yang menginspirasi jadi guru, bukan karena apa-apa, cuma karena passion. You have to watch it!"
Walaupun saya bukan sarjana lulusan fakultas pendidikan, saya tumbuh di lingkungan yang dekat dengan dunia pendidikan. Bapak saya dulunya adalah seorang guru, kakek saya juga penilik sekolah, kakak saya dan saya adalah praktisi akademisi, dan teman-teman saya banyak yang belajar di fakultas pendidikan. pendidikan bukan sesuatu yang tabu lagi dibicarakan di lingkungan sekitar saya. belajar dan mengajar selalu saya usahakan secara bersamaan. Di dunia ini, tidak ada orang yang bisa dikatakan mutlak lebih pintar dibandingkan yang lainnya, sepanjang dia masih manusia :D



Stacey Bess (Guru)

Belajar, bisa dari mana saja, termasuk dari film ini. Film ini mengisahkan kisah nyata dari seorang gadis (Stacey Bess) yang bercita-cita sebagai guru karena memiliki keluarga yang tidak bahagia dan menganggap sekolah adalah tempat pelarian. Dia kemudian menjadi guru yang baru memulai mengajar di sekolah dan kelas. Sayangnya, guru tersebut tidak mengajar pada sekolah dan kelas yang normal. Dia harus mengajar sekolah untuk anak-anak tunawisma. Guru tersebut diharuskan mengajar siswa kelas 1-6 dalam satu kelas secara bersamaan dengan fasilitas yang tidak memadahi.
Kehidupannya menjadi semakin berat ketika ia dinyatakan hamil oleh perawat di sekolah tersebut. Alih-alih menyerah mengajar kelas tersebut, ia malah meneruskan perjuangannya mengajar anak-anak didiknya. Suami dan kedua anaknya pun ikut mendukung keinginannya. Dia selalu mengatakan bahwa seharusnya dia dan lembaga sekolah bisa memberikan pelayanan yang lebih untuk sekolah tersebut.
Mengajar di sekolah itu memberikan banyak pembelajaran baginya, bagaimana anak-anak yang tidak punya apa-apa tetap memberikan perhatian dengan memberikan barang-barang sepele yang membuatnya bersemangat. Tidak hanya dia yang terpengaruh oleh anak-anak itu, tetapi juga orang tua murid terpengaruh olehnya. Sedikit demi sedikit ia memberikan pengertian akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Ia berusaha menunjukkan bahwa orang tua adalah tempat perlindungan dan pendidikan anak dan anak-anak mereka butuh perhatian. Untuk itu, dia merelakan waktu luang dan uang pribadi untuk memperbaiki sekolah itu. Katanya, dia selalu tidak puas dengan apa yang telah ia berikan dan inilah yang memang harus dia lakukan untuk anak didiknya. Inilah passion menjadi seorang guru.
Lambat laun, kondisi sekolah pun berubah lebih baik. Sekolah untuk anak-anak tak berumah itu pun diperbaiki dan mendapatkan lebih banyak fasilitas dan guru. Murid-muridnya pun tetap mampu meneruskan pendidikannya di sekolah formal lainnya. Anak-anak itu mencintai belajar dan sekolah karena guru mereka.
Kisah ini sangat mengispirasi bagi saya. Berbeda dengan kebanyakan guru-guru di Indonesia sekarang. Saya tidak tahu persis apa motiv mereka menjadi guru. Ada beberapa teman Bapak Saya yang mengeluhkan uang sertifikasi yang kunjung tidak cair, ada yang mengeluhkan gaji guru sangat kecil, ada yang mengeluhkan jadi guru bantu tidak ada uangnya. Para pendidik sibuk dengan materi, lalu bagaimana dengan materi pembelajaran siswa?
Saya sebenarnya bingung. Kita sekolah sebenarnya untuk apa? Jawaban yang sering saya dengar adalah untuk mendapatkan pekerjaan. Lalu, kita bekerja untuk apa? Jawaban yang sering saya dengar adalah untuk mendapatkan uang. Lalu, uang untuk apa? Jawaban yang sering saya dengar adalah untuk hidup. Pertanyann terakhir saya, puaskah dengan itu semua?
Hehehehe..udah, nggak usah terlalu serius :D yang penting, dilihat dulu filmnya ya :D


Rabu, 11 Desember 2013

THE KILLER OF DREAMS



Ini sebuah cerita tentang gadis biasa aja yang temannya dikit dan seorang pemimpi besar. Mimpinya memiliki sebuah teman banyak di kota kelahirannya yang sempat ditinggalkan saat SMA. Dari awal bukannya tidak punya teman, tetapi hubungan yang tidak pernah dipupuk akan terkikis juga lama-kelamaan. Terkadang, gadis ini terlihat seperti anak kucing yang terus bergelung dikaki orang yang disukai. Atau, terkadang menjadi seperti permen karet yang tak sengaja menempel di rambu, menggaunggu, perlu dibuang. Gadis ini sadar, dia harus berhenti mengharapkan hubungan yang manis lagi dengan orang-orang yang dianggapnya teman. Dia memutuskan untuk tak datang lagi kepada mereka yang tak menganggapnya. Dia memutuskan untuk membuat hubungan baru. Menjalin pertemanan yang lebih luas. Dunia itu luas.

Suatu saat gadis ini ikut dalam suatu organisasi kemahasiswaan daerah di mana dia berkuliah. Pada awalnya tidak yang banyak ikut organisasi ini. Si gadis berpikir inilah caranya dia mendapatkan banyak teman. Oleh karena itu, mulai dari teman terdekat yang respect terhadap si gadis diajak untuk meramaikan organisasi ini. Memang perlu kerja keras untuk membangun organisasi yang sempat tidur. Mulai dari dana  yang tidak ada sama sekali hingga SDM nya yang tidak ada. Si gadis tetap berjalan dengan teman-teman barunya. Pada akhirnya, kerja keraslah yang mempersatukan si gadis dengan teman-teman barunya. Si gadis sekarang mendapat banyak teman.
Bahkan lebih jauh dari mendapatkan teman, si gadis mendapatkan pengalaman-pengalaman yang berharga. Merasakan apa itu kebanggaan. Belajar menjalin hubungan persahabatan kembali. Yah, dia move on. Karena teman-temannya ini mimpi-mimpinya tercapai. Dari dunia si gadis yang sempit menjadi dunia yang begitu besar dan berwarna. Dari si pemimpi menjadi pemimpin di hidupnya. Semua ini karena teman-temannya. They’r the killer of her dreams.
Terima kasih teruntuk teman-teman tercinta di PAMELO (Paguyuban Mahasiswa Magetan di Solo)!

Kamis, 28 November 2013

Perjalanan

Beberapa minggu yang lalu saya dan teman-teman dekat saya di kampus berkunjung ke Bromo. Merencanakan sebuah perjalanan itu sangat menyenangkan. Walau pun perjalanan ini bukan sebuah petualangan “backpacking”, tapi ya bisa disebut perjalanan seadanya. Sebelum berangkat, kita semua sepakat akan mendaki Bromo jalan kaki, gak pakek acara naik kuda. :D . It’s not bad decision! Setelah dijalani, ada hikmahnya juga. Delapan cewek dengan kekuatan fisik biasa-biasa aja manjat bromo yang notabene gunung pendek banget. Hasilnya? Capeeeeeeeeeeek banget...tapi PUAS! Yah walau pun manjatnya pakek ngos-ngosan, bibirnya ada yang sampek biru pucat, istirahat berkali-kali. Rasanya seperti sadar hidup itu susah, apalagi ditambah naik bromo tambah susah lagi. Setiap naik satu tangga, rasanya puas. Kita sampek di Bromo juga, impian 1 semester kita, tabungan 1 semester kita. Puas rasanya.


Sebenarnya banyak sekali tempat wisata yang ingin kami kunjungi dengan konsep perjalanan seadanya. Tapi tetap saja, waktu dan biaya masalahnya. Esensi yang ingin dicapai dari perjalan kami adalah kebersamaan dan pengalaman. Indonesia mempunyai alam yang sangat indah, sayang untuk dilewatkan. Merawat, melestarikan, dan mengaguminya adalah suatu apreisiasi atas keindahan tersebut. Jadi, kombinasi mengapresiasi keindahan dan kebersamaan dengan teman itu adalah sebuah formulasi kebahagian yang besar. Tapi, ini juga bukan rumus turunan dari falsafah jawa, mangan, ora mangan, sing penting ngumpul. Sekarang kan banyak media sosial yang bisa digunakan untuk bersilaturahmi jadi gak perlu bertatap muka untuk disebut ngumpul. Walau pun demikian, tidak dapat dipungkiri, bertemu langsung itu lebih baik. Tulisan kadang diartikan beda oleh pembacanya, maka lebih baik dilakukan secara langsung secara lisan. Terkadang juga lisan yang didengar lewat telepon saja juga akan berbeda diartikan bila kita mendengar dan melihat gerak tubuh lawan bicara.kesimpulannya, kalau bisa, ya silaturahmi ketemu langsung. :D
Esensinya bukan di kebersamaan saja, tapi juga bukan pengalaman saja. kedua-duanya. Di sini kita bisa makan, di luar negeri pun kita bisa makan, lalu, kenapa kita tidak mencoba makan di luar negeri? Kan dapat pengalaman. Nilai plus untuk kita, dapat kepuasan batin, ilmu yang berbeda. Di dalam ajaran Islam pun diajarkan untuk menuntut ilmu sampai jauh. Lihatlah dunia. Tinggal dalam suatu lingkungan yang nyaman selamanya hanya akan membuat kita mandeg dan apatis. Banyak hal yang bisa kita lakukan di luar sana. Banyak tempat yang bisa nikamti keindahannya, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia ini. Contohnya, lihat para wakil rakyat kita! Seringkan mereka studi banding ke luar negeri? Mungkin mereka berpendapat di luar negeri lebih baik ilmunya daripada di Indonesia dalam hal tertentu sehingga perlu dipelajari dan diadopsi. Tapi, sehendaknya jangan mengatakan Indonesia buruk untuk seluruhnya karena kita (saya dan pembaca) juga tidak mampu melihat Indonesia sampai sekecil-kecilnya. Belajar di mana pun boleh, tinggal yang belajar aja bagaimana. Lagian, semua hal di mana aja bisa jadi guru. :D
Kalau mau berwisata atau belajar ke luar negeri ya boleh saja, asal tidak merugikan. Saya salut dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada mereka yang ke luar negeri tapi tidak merugiakan negara dan juga memperkaya negara. Siap orang-orang tersebut? Pahlawan devisa kita. TKI. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga di negeri orang. Bisa dapat uang banyak, memperkaya negara, menyejahterakan keluarga, dan bisa lihat dunia luar, bisa hidup dengan orang yang memeliki tipikal berbeda dengan orang Indonesia. Lalu, apa ada orang ke luar negeri yang merugikan negara? Ya ada. Mereka para kaum kapitalis. Mereka yang memiliki kapital, dengan penyakit jiwa konsumtif dan kerenisasi, suka sekali pergi ke luar negeri. Katanya jalan-jalan. Katanya belanja. Katanya liburan. Indonesia sedang sakit. Ibaratnya semut dan belalang. Semut bekerja banting tulang untuk mengumpulkan perbekalan kemudian dijarah belalang untuk foya-foya semata. Para TKI yang notabene masyarakat lapisan bawah Indonesia sibuk banting tulang memperkaya Indonesia kemudian kekayaan tersebut dikeruk kaum kapitalis yang strata sosialnya jauh dari TKI. Uang beredar dari bawah ke atas tapi hanya sedikit yang kembali turun lagi. Uang hanya untuk strata atas. Kekayaan ini dibuang-buang ke luar negeri. Lalu, siapa yang untung? Luar negeri.
Di antara TKI dan kaum kapitalis ini ada satu golongan lagi yang bisa jadi mulia atau jadi hina. Siapa mereka? Kaum cendikiawan. Mereka yang belajar di luar negeri dengan uang sendiri atau beasiswa. Mereka jadi mulia ketika selesai belajar, mendapat ilmu yang bermanfaat, kemudian pulang ke tanah air. Ilmu yang diperoleh kemudian diaplikasikan untuk membangun tanah airnya. Mulia bukan? Itu hanya sebuah kondisi ideal. Banyak kaum cendekiawan kita yang terjebak pada kapitalisme. Setelah belajar dan menjadi pandai, tidak mau pulang ke tanah air. Katanya, kalau di Indonesia tidak diapresiasi dengan gaji yang banyak. Bukan kah ahli dan penghafal Hadist, Imam Hambali, juga ada yang hidup miskin? Tapi Beliau kaya ilmu dan kasih sayang Tuhan sehingga surga ganjarannya. Memang, sekarang di dunia ini benar-benar berada pada era kapitalis. Semua diukur dengan uang. Padalah, 3 hal investasi yang tidak akan merugi, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Semoga saya digolongkan pada kaum cendikiawan yang tidak merugi dunia-akhirat.amin.
Demikian kisah perjalanan yang dapat saya tuliskan kali ini. Saya merasa tulisan ini begitu terpikirkan oleh saya. Terima kasih atas kebersamaan teman-teman saya selama ini. Terima kasih atas semangatnya dari Bunda Esty (Esty Dwi Prasetyianingtyas), al, el, dan semua-mua teman saya di Fisip UNS ( Ana, Mbak Asri, Mbak Na, Bella, Eti, Nita, Tia, Hayyu, dan teman-teman Administrasi Negara kelas B angkatan 2010). Sekali lagi, terima kasih atas petualangannya. :D
Saya berharap, kelak saya menyukai profesi saya apa pun itu dan menjaga sumpah jabatan atau profesi saya. Saya berharap saya tidak sampai menghamba pa uang. Saya berharap, sampai bagian tubuh saya yang terkecil dapat bermanfaat bagi orang lain. Di dalam hati saya yang kecil tersimpan pula keinginan besar untuk mengelilingi Indonesia, bahkan Indonesia. Untuk itu, saya juga berharap semoga semua keindahan dunia bisa saya lihat. Semoga saya mampu mengamini dan menyaksikan sendiri teman-teman saya sukses.
Hidup ini begitu indah. Indah di antara yang mencinta dan dicinta. Hidup ini menjadi sempit ketika kita memandangnya dari ketinggian hati. Dunia ini begitu luas ketika ilmulah yang melihatnya. Akan tetapi, dunia ini terlalu sempit untuk waktu. Maka, hidup di dunia ini harus dinikmati, sebelum segala-galanya habis dilahap waktu.