Cari Blog Ini

Kamis, 28 November 2013

Perjalanan

Beberapa minggu yang lalu saya dan teman-teman dekat saya di kampus berkunjung ke Bromo. Merencanakan sebuah perjalanan itu sangat menyenangkan. Walau pun perjalanan ini bukan sebuah petualangan “backpacking”, tapi ya bisa disebut perjalanan seadanya. Sebelum berangkat, kita semua sepakat akan mendaki Bromo jalan kaki, gak pakek acara naik kuda. :D . It’s not bad decision! Setelah dijalani, ada hikmahnya juga. Delapan cewek dengan kekuatan fisik biasa-biasa aja manjat bromo yang notabene gunung pendek banget. Hasilnya? Capeeeeeeeeeeek banget...tapi PUAS! Yah walau pun manjatnya pakek ngos-ngosan, bibirnya ada yang sampek biru pucat, istirahat berkali-kali. Rasanya seperti sadar hidup itu susah, apalagi ditambah naik bromo tambah susah lagi. Setiap naik satu tangga, rasanya puas. Kita sampek di Bromo juga, impian 1 semester kita, tabungan 1 semester kita. Puas rasanya.


Sebenarnya banyak sekali tempat wisata yang ingin kami kunjungi dengan konsep perjalanan seadanya. Tapi tetap saja, waktu dan biaya masalahnya. Esensi yang ingin dicapai dari perjalan kami adalah kebersamaan dan pengalaman. Indonesia mempunyai alam yang sangat indah, sayang untuk dilewatkan. Merawat, melestarikan, dan mengaguminya adalah suatu apreisiasi atas keindahan tersebut. Jadi, kombinasi mengapresiasi keindahan dan kebersamaan dengan teman itu adalah sebuah formulasi kebahagian yang besar. Tapi, ini juga bukan rumus turunan dari falsafah jawa, mangan, ora mangan, sing penting ngumpul. Sekarang kan banyak media sosial yang bisa digunakan untuk bersilaturahmi jadi gak perlu bertatap muka untuk disebut ngumpul. Walau pun demikian, tidak dapat dipungkiri, bertemu langsung itu lebih baik. Tulisan kadang diartikan beda oleh pembacanya, maka lebih baik dilakukan secara langsung secara lisan. Terkadang juga lisan yang didengar lewat telepon saja juga akan berbeda diartikan bila kita mendengar dan melihat gerak tubuh lawan bicara.kesimpulannya, kalau bisa, ya silaturahmi ketemu langsung. :D
Esensinya bukan di kebersamaan saja, tapi juga bukan pengalaman saja. kedua-duanya. Di sini kita bisa makan, di luar negeri pun kita bisa makan, lalu, kenapa kita tidak mencoba makan di luar negeri? Kan dapat pengalaman. Nilai plus untuk kita, dapat kepuasan batin, ilmu yang berbeda. Di dalam ajaran Islam pun diajarkan untuk menuntut ilmu sampai jauh. Lihatlah dunia. Tinggal dalam suatu lingkungan yang nyaman selamanya hanya akan membuat kita mandeg dan apatis. Banyak hal yang bisa kita lakukan di luar sana. Banyak tempat yang bisa nikamti keindahannya, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia ini. Contohnya, lihat para wakil rakyat kita! Seringkan mereka studi banding ke luar negeri? Mungkin mereka berpendapat di luar negeri lebih baik ilmunya daripada di Indonesia dalam hal tertentu sehingga perlu dipelajari dan diadopsi. Tapi, sehendaknya jangan mengatakan Indonesia buruk untuk seluruhnya karena kita (saya dan pembaca) juga tidak mampu melihat Indonesia sampai sekecil-kecilnya. Belajar di mana pun boleh, tinggal yang belajar aja bagaimana. Lagian, semua hal di mana aja bisa jadi guru. :D
Kalau mau berwisata atau belajar ke luar negeri ya boleh saja, asal tidak merugikan. Saya salut dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada mereka yang ke luar negeri tapi tidak merugiakan negara dan juga memperkaya negara. Siap orang-orang tersebut? Pahlawan devisa kita. TKI. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga di negeri orang. Bisa dapat uang banyak, memperkaya negara, menyejahterakan keluarga, dan bisa lihat dunia luar, bisa hidup dengan orang yang memeliki tipikal berbeda dengan orang Indonesia. Lalu, apa ada orang ke luar negeri yang merugikan negara? Ya ada. Mereka para kaum kapitalis. Mereka yang memiliki kapital, dengan penyakit jiwa konsumtif dan kerenisasi, suka sekali pergi ke luar negeri. Katanya jalan-jalan. Katanya belanja. Katanya liburan. Indonesia sedang sakit. Ibaratnya semut dan belalang. Semut bekerja banting tulang untuk mengumpulkan perbekalan kemudian dijarah belalang untuk foya-foya semata. Para TKI yang notabene masyarakat lapisan bawah Indonesia sibuk banting tulang memperkaya Indonesia kemudian kekayaan tersebut dikeruk kaum kapitalis yang strata sosialnya jauh dari TKI. Uang beredar dari bawah ke atas tapi hanya sedikit yang kembali turun lagi. Uang hanya untuk strata atas. Kekayaan ini dibuang-buang ke luar negeri. Lalu, siapa yang untung? Luar negeri.
Di antara TKI dan kaum kapitalis ini ada satu golongan lagi yang bisa jadi mulia atau jadi hina. Siapa mereka? Kaum cendikiawan. Mereka yang belajar di luar negeri dengan uang sendiri atau beasiswa. Mereka jadi mulia ketika selesai belajar, mendapat ilmu yang bermanfaat, kemudian pulang ke tanah air. Ilmu yang diperoleh kemudian diaplikasikan untuk membangun tanah airnya. Mulia bukan? Itu hanya sebuah kondisi ideal. Banyak kaum cendekiawan kita yang terjebak pada kapitalisme. Setelah belajar dan menjadi pandai, tidak mau pulang ke tanah air. Katanya, kalau di Indonesia tidak diapresiasi dengan gaji yang banyak. Bukan kah ahli dan penghafal Hadist, Imam Hambali, juga ada yang hidup miskin? Tapi Beliau kaya ilmu dan kasih sayang Tuhan sehingga surga ganjarannya. Memang, sekarang di dunia ini benar-benar berada pada era kapitalis. Semua diukur dengan uang. Padalah, 3 hal investasi yang tidak akan merugi, amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Semoga saya digolongkan pada kaum cendikiawan yang tidak merugi dunia-akhirat.amin.
Demikian kisah perjalanan yang dapat saya tuliskan kali ini. Saya merasa tulisan ini begitu terpikirkan oleh saya. Terima kasih atas kebersamaan teman-teman saya selama ini. Terima kasih atas semangatnya dari Bunda Esty (Esty Dwi Prasetyianingtyas), al, el, dan semua-mua teman saya di Fisip UNS ( Ana, Mbak Asri, Mbak Na, Bella, Eti, Nita, Tia, Hayyu, dan teman-teman Administrasi Negara kelas B angkatan 2010). Sekali lagi, terima kasih atas petualangannya. :D
Saya berharap, kelak saya menyukai profesi saya apa pun itu dan menjaga sumpah jabatan atau profesi saya. Saya berharap saya tidak sampai menghamba pa uang. Saya berharap, sampai bagian tubuh saya yang terkecil dapat bermanfaat bagi orang lain. Di dalam hati saya yang kecil tersimpan pula keinginan besar untuk mengelilingi Indonesia, bahkan Indonesia. Untuk itu, saya juga berharap semoga semua keindahan dunia bisa saya lihat. Semoga saya mampu mengamini dan menyaksikan sendiri teman-teman saya sukses.
Hidup ini begitu indah. Indah di antara yang mencinta dan dicinta. Hidup ini menjadi sempit ketika kita memandangnya dari ketinggian hati. Dunia ini begitu luas ketika ilmulah yang melihatnya. Akan tetapi, dunia ini terlalu sempit untuk waktu. Maka, hidup di dunia ini harus dinikmati, sebelum segala-galanya habis dilahap waktu.