Beberapa
minggu yang lalu saya dan teman-teman dekat saya di kampus berkunjung ke Bromo.
Merencanakan sebuah perjalanan itu sangat menyenangkan. Walau pun perjalanan
ini bukan sebuah petualangan “backpacking”, tapi ya bisa disebut perjalanan
seadanya. Sebelum berangkat, kita semua sepakat akan mendaki Bromo jalan kaki,
gak pakek acara naik kuda. :D . It’s not bad decision! Setelah dijalani, ada
hikmahnya juga. Delapan cewek dengan kekuatan fisik biasa-biasa aja manjat
bromo yang notabene gunung pendek banget. Hasilnya? Capeeeeeeeeeeek
banget...tapi PUAS! Yah walau pun manjatnya pakek ngos-ngosan, bibirnya ada
yang sampek biru pucat, istirahat berkali-kali. Rasanya seperti sadar hidup itu
susah, apalagi ditambah naik bromo tambah susah lagi. Setiap naik satu tangga,
rasanya puas. Kita sampek di Bromo juga, impian 1 semester kita, tabungan 1
semester kita. Puas rasanya.
Sebenarnya
banyak sekali tempat wisata yang ingin kami kunjungi dengan konsep perjalanan
seadanya. Tapi tetap saja, waktu dan biaya masalahnya. Esensi yang ingin
dicapai dari perjalan kami adalah kebersamaan dan pengalaman. Indonesia
mempunyai alam yang sangat indah, sayang untuk dilewatkan. Merawat,
melestarikan, dan mengaguminya adalah suatu apreisiasi atas keindahan tersebut.
Jadi, kombinasi mengapresiasi keindahan dan kebersamaan dengan teman itu adalah
sebuah formulasi kebahagian yang besar. Tapi, ini juga bukan rumus turunan dari
falsafah jawa, mangan, ora mangan, sing
penting ngumpul. Sekarang kan banyak media sosial yang bisa digunakan untuk
bersilaturahmi jadi gak perlu bertatap muka untuk disebut ngumpul. Walau pun
demikian, tidak dapat dipungkiri, bertemu langsung itu lebih baik. Tulisan
kadang diartikan beda oleh pembacanya, maka lebih baik dilakukan secara
langsung secara lisan. Terkadang juga lisan yang didengar lewat telepon saja
juga akan berbeda diartikan bila kita mendengar dan melihat gerak tubuh lawan
bicara.kesimpulannya, kalau bisa, ya silaturahmi ketemu langsung. :D
Esensinya
bukan di kebersamaan saja, tapi juga bukan pengalaman saja. kedua-duanya. Di
sini kita bisa makan, di luar negeri pun kita bisa makan, lalu, kenapa kita
tidak mencoba makan di luar negeri? Kan dapat pengalaman. Nilai plus untuk
kita, dapat kepuasan batin, ilmu yang berbeda. Di dalam ajaran Islam pun diajarkan
untuk menuntut ilmu sampai jauh. Lihatlah dunia. Tinggal dalam suatu lingkungan
yang nyaman selamanya hanya akan membuat kita mandeg dan apatis. Banyak hal
yang bisa kita lakukan di luar sana. Banyak tempat yang bisa nikamti
keindahannya, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia ini. Contohnya,
lihat para wakil rakyat kita! Seringkan mereka studi banding ke luar negeri? Mungkin
mereka berpendapat di luar negeri lebih baik ilmunya daripada di Indonesia
dalam hal tertentu sehingga perlu dipelajari dan diadopsi. Tapi, sehendaknya
jangan mengatakan Indonesia buruk untuk seluruhnya karena kita (saya dan
pembaca) juga tidak mampu melihat Indonesia sampai sekecil-kecilnya. Belajar di
mana pun boleh, tinggal yang belajar aja bagaimana. Lagian, semua hal di mana
aja bisa jadi guru. :D
Kalau
mau berwisata atau belajar ke luar negeri ya boleh saja, asal tidak merugikan.
Saya salut dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada mereka yang ke luar
negeri tapi tidak merugiakan negara dan juga memperkaya negara. Siap
orang-orang tersebut? Pahlawan devisa kita. TKI. Mereka bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarga di negeri orang. Bisa dapat uang banyak,
memperkaya negara, menyejahterakan keluarga, dan bisa lihat dunia luar, bisa
hidup dengan orang yang memeliki tipikal berbeda dengan orang Indonesia. Lalu,
apa ada orang ke luar negeri yang merugikan negara? Ya ada. Mereka para kaum
kapitalis. Mereka yang memiliki kapital, dengan penyakit jiwa konsumtif dan
kerenisasi, suka sekali pergi ke luar negeri. Katanya jalan-jalan. Katanya
belanja. Katanya liburan. Indonesia sedang sakit. Ibaratnya semut dan belalang.
Semut bekerja banting tulang untuk mengumpulkan perbekalan kemudian dijarah
belalang untuk foya-foya semata. Para TKI yang notabene masyarakat lapisan
bawah Indonesia sibuk banting tulang memperkaya Indonesia kemudian kekayaan
tersebut dikeruk kaum kapitalis yang strata sosialnya jauh dari TKI. Uang beredar
dari bawah ke atas tapi hanya sedikit yang kembali turun lagi. Uang hanya untuk
strata atas. Kekayaan ini dibuang-buang ke luar negeri. Lalu, siapa yang
untung? Luar negeri.
Di
antara TKI dan kaum kapitalis ini ada satu golongan lagi yang bisa jadi mulia
atau jadi hina. Siapa mereka? Kaum cendikiawan. Mereka yang belajar di luar
negeri dengan uang sendiri atau beasiswa. Mereka jadi mulia ketika selesai
belajar, mendapat ilmu yang bermanfaat, kemudian pulang ke tanah air. Ilmu yang
diperoleh kemudian diaplikasikan untuk membangun tanah airnya. Mulia bukan? Itu
hanya sebuah kondisi ideal. Banyak kaum cendekiawan kita yang terjebak pada
kapitalisme. Setelah belajar dan menjadi pandai, tidak mau pulang ke tanah air.
Katanya, kalau di Indonesia tidak diapresiasi dengan gaji yang banyak. Bukan
kah ahli dan penghafal Hadist, Imam Hambali, juga ada yang hidup miskin? Tapi
Beliau kaya ilmu dan kasih sayang Tuhan sehingga surga ganjarannya. Memang,
sekarang di dunia ini benar-benar berada pada era kapitalis. Semua diukur
dengan uang. Padalah, 3 hal investasi yang tidak akan merugi, amal jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan doa anak sholeh. Semoga saya digolongkan pada kaum
cendikiawan yang tidak merugi dunia-akhirat.amin.
Demikian
kisah perjalanan yang dapat saya tuliskan kali ini. Saya merasa tulisan ini
begitu terpikirkan oleh saya. Terima kasih atas kebersamaan teman-teman saya
selama ini. Terima kasih atas semangatnya dari Bunda Esty (Esty Dwi
Prasetyianingtyas), al, el, dan semua-mua teman saya di Fisip UNS ( Ana, Mbak
Asri, Mbak Na, Bella, Eti, Nita, Tia, Hayyu, dan teman-teman Administrasi
Negara kelas B angkatan 2010). Sekali lagi, terima kasih atas petualangannya.
:D
Saya
berharap, kelak saya menyukai profesi saya apa pun itu dan menjaga sumpah
jabatan atau profesi saya. Saya berharap saya tidak sampai menghamba pa uang. Saya
berharap, sampai bagian tubuh saya yang terkecil dapat bermanfaat bagi orang
lain. Di dalam hati saya yang kecil tersimpan pula keinginan besar untuk
mengelilingi Indonesia, bahkan Indonesia. Untuk itu, saya juga berharap semoga
semua keindahan dunia bisa saya lihat. Semoga saya mampu mengamini dan
menyaksikan sendiri teman-teman saya sukses.
Hidup
ini begitu indah. Indah di antara yang mencinta dan dicinta. Hidup ini menjadi
sempit ketika kita memandangnya dari ketinggian hati. Dunia ini begitu luas
ketika ilmulah yang melihatnya. Akan tetapi, dunia ini terlalu sempit untuk
waktu. Maka, hidup di dunia ini harus dinikmati, sebelum segala-galanya habis
dilahap waktu.