Beyond the Blackboard
|
|
Directed by
|
|
Produced by
|
Brent Shields
& Gerald R. Molen
|
Written by
|
Camille Thomasson
|
Starring
|
|
Production company
|
|
Country
|
United States
|
Language
|
English
|
Original channel
|
|
Release date
|
·
April 24, 2011
|
Running time
|
100 minutes
|
Preceded by
|
|
Followed by
|
Salah satu oleh-oleh belajar dari Kampung Inggris adalah film ini. Ini yang
dinamakan jodoh. Film yang sudah tayang sejak tahun 2011, baru saya dapat dan
lihat di penghujung akhir 2014. Perjodohanlah yang mengijinkan saya melihat
film ini. Film ini saya dapatkan dari tutor saya di ELFAST saat sedang tinggal
di Camp Orchid. Beliau adalah tutor yang lebih muda dari saya namun telah menguasai
Bahasa Inggris lebih baik dibandingkan saya. Beliau mengatakan kepada
saya," Nih lihat, film yang menginspirasi jadi guru, bukan karena apa-apa,
cuma karena passion. You have to watch it!"
Walaupun saya bukan sarjana lulusan fakultas pendidikan, saya tumbuh di lingkungan
yang dekat dengan dunia pendidikan. Bapak saya dulunya adalah seorang guru,
kakek saya juga penilik sekolah, kakak saya dan saya adalah praktisi akademisi,
dan teman-teman saya banyak yang belajar di fakultas pendidikan. pendidikan
bukan sesuatu yang tabu lagi dibicarakan di lingkungan sekitar saya. belajar
dan mengajar selalu saya usahakan secara bersamaan. Di dunia ini, tidak ada
orang yang bisa dikatakan mutlak lebih pintar dibandingkan yang lainnya,
sepanjang dia masih manusia :D
Stacey Bess (Guru)
Belajar, bisa dari mana saja, termasuk dari film ini. Film ini mengisahkan kisah nyata dari seorang gadis (Stacey Bess) yang bercita-cita sebagai guru karena memiliki keluarga yang
tidak bahagia dan menganggap sekolah adalah tempat pelarian. Dia kemudian
menjadi guru yang baru memulai mengajar di sekolah dan kelas. Sayangnya, guru
tersebut tidak mengajar pada sekolah dan kelas yang normal. Dia harus mengajar
sekolah untuk anak-anak tunawisma. Guru tersebut diharuskan mengajar siswa kelas
1-6 dalam satu kelas secara bersamaan dengan fasilitas yang tidak memadahi.
Kehidupannya menjadi semakin berat ketika ia dinyatakan hamil oleh perawat
di sekolah tersebut. Alih-alih menyerah mengajar kelas tersebut, ia malah
meneruskan perjuangannya mengajar anak-anak didiknya. Suami dan kedua anaknya
pun ikut mendukung keinginannya. Dia selalu mengatakan bahwa seharusnya dia dan
lembaga sekolah bisa memberikan pelayanan yang lebih untuk sekolah tersebut.
Mengajar di sekolah itu memberikan banyak pembelajaran baginya, bagaimana
anak-anak yang tidak punya apa-apa tetap memberikan perhatian dengan memberikan
barang-barang sepele yang membuatnya bersemangat. Tidak hanya dia yang
terpengaruh oleh anak-anak itu, tetapi juga orang tua murid terpengaruh olehnya.
Sedikit demi sedikit ia memberikan pengertian akan pentingnya pendidikan untuk
anak-anak mereka. Ia berusaha menunjukkan bahwa orang tua adalah tempat
perlindungan dan pendidikan anak dan anak-anak mereka butuh perhatian. Untuk itu,
dia merelakan waktu luang dan uang pribadi untuk memperbaiki sekolah itu. Katanya,
dia selalu tidak puas dengan apa yang telah ia berikan dan inilah yang memang
harus dia lakukan untuk anak didiknya. Inilah passion menjadi seorang guru.
Lambat laun, kondisi sekolah pun berubah lebih baik. Sekolah untuk
anak-anak tak berumah itu pun diperbaiki dan mendapatkan lebih banyak fasilitas
dan guru. Murid-muridnya pun tetap mampu meneruskan pendidikannya di sekolah
formal lainnya. Anak-anak itu mencintai belajar dan sekolah karena guru mereka.
Kisah ini sangat mengispirasi bagi saya. Berbeda dengan kebanyakan
guru-guru di Indonesia sekarang. Saya tidak tahu persis apa motiv mereka
menjadi guru. Ada beberapa teman Bapak Saya yang mengeluhkan uang sertifikasi
yang kunjung tidak cair, ada yang mengeluhkan gaji guru sangat kecil, ada yang
mengeluhkan jadi guru bantu tidak ada uangnya. Para pendidik sibuk dengan
materi, lalu bagaimana dengan materi pembelajaran siswa?
Saya sebenarnya bingung. Kita sekolah sebenarnya untuk apa? Jawaban yang
sering saya dengar adalah untuk mendapatkan pekerjaan. Lalu, kita bekerja untuk
apa? Jawaban yang sering saya dengar adalah untuk mendapatkan uang. Lalu, uang
untuk apa? Jawaban yang sering saya dengar adalah untuk hidup. Pertanyann terakhir
saya, puaskah dengan itu semua?
Hehehehe..udah, nggak usah terlalu serius :D yang penting, dilihat dulu
filmnya ya :D