Cari Blog Ini

Sabtu, 17 September 2016

KISAH KLASIK

Tulisan ini adalah curhatan saya yang kesekian kalinya. Tulisan ini mungkin tidak dapat dibaca teman-teman saya seperti dulu kita masih sekolah dan kuliah di waktu dan tempat yang sama. Tetapi, saya masih tetap ingin menulisnya dengan harapan, ada yang membacanya. Saya terlalu menjadi pengecut untuk mengungkapkannya langsung. Tidak hanya itu alasannya, sebenarnya karena saya bingung memulai mengatakannya dari mana. Menurut saya, saya terlalu sentiment terhadap hal-hal yang sepele. Tetapi, tetap saja, menurut saya ini penting.
Tulisan ini saya berani memulainya ketika kegalauan saya mulai muncul lagi ketika melihat tulisan yang diunggah @tweetramalan. Tulisan tersebut tepatnya adalah “Terkadang kamu takut untuk terlalu peduli pada seseorang karena takut bahwa mereka tak peduli sama sekali padamu”. Jujur, saya merasakan hal tersebut. Saya sadar, jika saya merasakan itu, berarti saya tidak tulus, pamrih, ingin mendapatkan balasan. Tetapi, setelah sekian tahun, mungkin 8 tahun terakhir saya merasa usaha saya untuk sekedar menyapa “mereka” yang saya sebut teman tidak lantas membuat saya disebut “teman” juga. Bahkan, kadang mereka yang saya sebut teman dekat, bahkan tidak ingat saya. Oleh karena itu, saya berhenti mengucapkan selamat ulang tahun.
Sekarang ini, era globalisasi (kosa kata ini sering kali muncul di paper, kuliah, tugas, ppt, sampek curhatan ini (“-__- ) ) di mana social media sangat berpengaruh besar terhadap semua-semua kita. Oleh karena itu, saya percaya, social media itu bisa menggantikan waktu dan ruang kita untuk bersua dengan teman-teman. Saya luangkan waktu untuk nye-croll layar hp atau laptop buat “kepo” teman-teman saya. Saya Cuma perlu tahu, mereka semua oke di tempat masing-masing. Kadang saya beranikan komen ketika mereka mengunggah apa yang mereka rasakan di social media. Tetapi, belum lama ini, teman saya sendiri mengatakan secara langsung kepada saya ketika kami bertemu tentang pemikirannya.
“Kamu itu jangan terlalu percaya pada apa yang saya tulis di social media. Itu hanya caraku untuk menarik followers.”
 Hhhhhhhh…TTTTT.TTTTT
Dengan polosnya saya menanggapi kicauannya di sosmed yang seolah-olah menunjukkan dia galau. Saya merasa bodoh jelas. Apa yang saya anggap penting, ternyata hanya sebuah bentuk pembuat imej semata. Dan saya ingat, seketika itu, teman saya menuliskan di akunnya, “jaman sekarang masih ada ya yang percaya sama tweet”. Saya merasa teman saya ini telah menghina perhatian saya. TTTTT.TTTTT . tetapi sejatinya saya tahu, saya hanya mencari kambing hitam atas kenaifan saya yang gag banget. Saya sadar, saya hidup di panggung sandiwara. Kemudian saya menjadi sadar bahwa sosmed tidak sepenuhnya dimaknai dengan penyambung silaturahim. Dan apa yang saya anggap wajar dengan perhatian yang saya berikan kepada teman saya itu dianggap sampah oleh teman saya. Hhhhhhhh. Rubbbbiiissshhesss.
Tidak hanya itu. Saya adalah cewek yang cerewet. Bicara saya banyak, ekspresif, detail, dan penuh emosi. Jadi, ketika teman saya update DP atau PM saya pun komen-komen yang panjang bangeeeetttt. Jadi gini misalnya:

Temen saya update: alhamdulillah ketrima kerja di X
Tanggapan saya : eh, udah ketrima kerja ya??? (send)
                 Alhamdulillah (send)
                 Di mana? (send)
                 Selamat ya…semoga barokah :D
Trus temen saya bales:
    “perasaan saya tulis satu baris, kamu balesnya 4 baris ya..hahahaha"

Trus otak saya macet. Ya udah. Mungkin aku terlalu cerewet. Jadi lebih baik saya diam saja. Selain itu. Kadang chat-chat pribadi saya akan berakhir dalam 5-10 pasang percakapan dengan bentuk saya yang lebih banyak aktif bertanya dan jawaban teman saya adalah:
“iya ma”
“siiip”
“siap”
“alhamdulillah”
“makasih ya”
“doakan ya”
“amin”
Udah. Chat ku selesai. Tanpa mereka nanyain kabarku gimana. Apa aku kangen mereka. Aku kangen mereka, jelas. Lama kelamaan, saya menyerah. Saya hanya akan melihat mereka dari layar hp dan laptop. Ini adalah bentuk keegoisan saya, bentuk pamrih saya, bentuk kepengecutan saya. Saya sakit jelas ketika kami membuat janji,”nanti kalau pulang jangan lupa kabar-kabar ya. Janji lho! Luangkan waktu untuk jalan-jalan sama aku ya!” bahkan sampek berhari-hari di rumah, sampek beberapa foto teman saya dengan teman-temannya yang lain diunggah di Instagram, saya tidak pernah mendapat kejelasan janji yang kami buat.
Saya bingung dengan video-video motivasi yang dibuat motivator-motivaor itu. Luangkan waktu buat teman. Tapi saya sadar, selama ini saya tidak cukup berusaha keras untuk berteman dengan banyak orang. Oleh karena itu saya menerima karma sekarang, bahkan mereka yang saya sebut teman tidak ingat saya adalah teman nya.
Tetapi, di tengah keputusasaan atas keadaan ini, Allah selalu berada dekat dengan saya. Dia mengirimkan saya teman yang “lain”. Disaat mereka yang saya sebut “teman” bahkan tidak mengingat keberadaan saya di bumi, saya memiliki mereka yang lebih dari “teman”.
Saya takut mendefinisikan mereka adalah apa. Saya takut menyebutnya teman karena mungkin saja mereka akan menghilang seperti mereka yang sebut “teman”. Oleh karena itu, saya sebut mereka dengan nama mereka. Saya tidak akan menyebutkan nama mereka satu persatu. Saya akan menyebutkan nama pertalian kita. Haiiii guyyyyssssss :D <3 <3 <3

Thx to teman sma, lonely’s fam
Thx to teman kuliah di AN B, Happy Family
Thx to teman kos, Palupi Sisters
Thx to teman MAP 63, Merpati 25
 Mbak Werda, Amel, Mas Ardy, Mayang, Thoni, Reza, dan adhek-adhek sepupuku…reza, bagas, aufa, ena, husen, sekar, dan om rizki dan om Krishna :D

Selamat Menempuh Hidup Baru untuk teman-teman Happy Family :D


Jumat, 29 April 2016

Kamu

Aku menulis banyak-banyak kata
Tapi,
Aku tak bisa menggambarkan kamu dan aku
Kalau ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Aku ingat cinta
Tapi,
Aku dan kamu tahu

Itu tak ada