Tulisan
ini adalah curhatan saya yang kesekian kalinya. Tulisan ini mungkin tidak dapat
dibaca teman-teman saya seperti dulu kita masih sekolah dan kuliah di waktu dan
tempat yang sama. Tetapi, saya masih tetap ingin menulisnya dengan harapan, ada
yang membacanya. Saya terlalu menjadi pengecut untuk mengungkapkannya langsung.
Tidak hanya itu alasannya, sebenarnya karena saya bingung memulai mengatakannya
dari mana. Menurut saya, saya terlalu sentiment terhadap hal-hal yang sepele. Tetapi,
tetap saja, menurut saya ini penting.
Tulisan
ini saya berani memulainya ketika kegalauan saya mulai muncul lagi ketika
melihat tulisan yang diunggah @tweetramalan. Tulisan tersebut tepatnya adalah “Terkadang
kamu takut untuk terlalu peduli pada seseorang karena takut bahwa mereka tak
peduli sama sekali padamu”. Jujur, saya merasakan hal tersebut. Saya sadar,
jika saya merasakan itu, berarti saya tidak tulus, pamrih, ingin mendapatkan
balasan. Tetapi, setelah sekian tahun, mungkin 8 tahun terakhir saya merasa
usaha saya untuk sekedar menyapa “mereka” yang saya sebut teman tidak lantas
membuat saya disebut “teman” juga. Bahkan, kadang mereka yang saya sebut teman
dekat, bahkan tidak ingat saya. Oleh karena itu, saya berhenti mengucapkan
selamat ulang tahun.
Sekarang
ini, era globalisasi (kosa kata ini sering kali muncul di paper, kuliah, tugas,
ppt, sampek curhatan ini (“-__- ) ) di mana social media sangat berpengaruh
besar terhadap semua-semua kita. Oleh karena itu, saya percaya, social media
itu bisa menggantikan waktu dan ruang kita untuk bersua dengan teman-teman. Saya
luangkan waktu untuk nye-croll layar hp atau laptop buat “kepo” teman-teman
saya. Saya Cuma perlu tahu, mereka semua oke di tempat masing-masing. Kadang saya
beranikan komen ketika mereka mengunggah apa yang mereka rasakan di social
media. Tetapi, belum lama ini, teman saya sendiri mengatakan secara langsung kepada
saya ketika kami bertemu tentang pemikirannya.
“Kamu
itu jangan terlalu percaya pada apa yang saya tulis di social media. Itu hanya
caraku untuk menarik followers.”
Hhhhhhhh…TTTTT.TTTTT
Dengan
polosnya saya menanggapi kicauannya di sosmed yang seolah-olah menunjukkan dia
galau. Saya merasa bodoh jelas. Apa yang saya anggap penting, ternyata hanya
sebuah bentuk pembuat imej semata. Dan saya ingat, seketika itu, teman saya
menuliskan di akunnya, “jaman sekarang masih ada ya yang percaya sama tweet”. Saya
merasa teman saya ini telah menghina perhatian saya. TTTTT.TTTTT . tetapi
sejatinya saya tahu, saya hanya mencari kambing hitam atas kenaifan saya yang
gag banget. Saya sadar, saya hidup di panggung sandiwara. Kemudian saya menjadi
sadar bahwa sosmed tidak sepenuhnya dimaknai dengan penyambung silaturahim. Dan
apa yang saya anggap wajar dengan perhatian yang saya berikan kepada teman saya
itu dianggap sampah oleh teman saya. Hhhhhhhh. Rubbbbiiissshhesss.
Tidak
hanya itu. Saya adalah cewek yang cerewet. Bicara saya banyak, ekspresif, detail,
dan penuh emosi. Jadi, ketika teman saya update DP atau PM saya pun komen-komen
yang panjang bangeeeetttt. Jadi gini misalnya:
Temen
saya update: alhamdulillah ketrima kerja di X
Tanggapan
saya : eh, udah ketrima kerja ya??? (send)
Alhamdulillah (send)
Di mana? (send)
Selamat ya…semoga barokah :D
Trus
temen saya bales:
“perasaan saya tulis
satu baris, kamu balesnya 4 baris ya..hahahaha"
Trus
otak saya macet. Ya udah. Mungkin aku terlalu cerewet. Jadi lebih baik saya
diam saja. Selain itu. Kadang chat-chat pribadi saya akan berakhir dalam 5-10
pasang percakapan dengan bentuk saya yang lebih banyak aktif bertanya dan
jawaban teman saya adalah:
“iya
ma”
“siiip”
“siap”
“alhamdulillah”
“makasih
ya”
“doakan
ya”
“amin”
Udah.
Chat ku selesai. Tanpa mereka nanyain kabarku gimana. Apa aku kangen mereka. Aku kangen
mereka, jelas. Lama kelamaan, saya menyerah. Saya hanya akan melihat mereka
dari layar hp dan laptop. Ini adalah bentuk keegoisan saya, bentuk pamrih saya,
bentuk kepengecutan saya. Saya sakit jelas ketika kami membuat janji,”nanti kalau pulang jangan lupa kabar-kabar ya. Janji lho! Luangkan waktu untuk jalan-jalan
sama aku ya!” bahkan sampek berhari-hari di rumah, sampek beberapa foto teman
saya dengan teman-temannya yang lain diunggah di Instagram, saya tidak pernah
mendapat kejelasan janji yang kami buat.
Saya
bingung dengan video-video motivasi yang dibuat motivator-motivaor itu. Luangkan
waktu buat teman. Tapi saya sadar, selama ini saya tidak cukup berusaha keras
untuk berteman dengan banyak orang. Oleh karena itu saya menerima karma
sekarang, bahkan mereka yang saya sebut teman tidak ingat saya adalah teman
nya.
Tetapi,
di tengah keputusasaan atas keadaan ini, Allah selalu berada dekat dengan saya.
Dia mengirimkan saya teman yang “lain”. Disaat mereka yang saya sebut “teman”
bahkan tidak mengingat keberadaan saya di bumi, saya memiliki mereka yang lebih
dari “teman”.
Saya
takut mendefinisikan mereka adalah apa. Saya takut menyebutnya teman karena
mungkin saja mereka akan menghilang seperti mereka yang sebut “teman”. Oleh karena
itu, saya sebut mereka dengan nama mereka. Saya tidak akan menyebutkan nama
mereka satu persatu. Saya akan menyebutkan nama pertalian kita. Haiiii guyyyyssssss
:D <3 <3 <3
Thx to teman sma, lonely’s fam
Thx to teman kuliah di AN B, Happy Family
Thx to teman kos, Palupi Sisters
Thx to teman MAP 63, Merpati 25
Mbak Werda, Amel, Mas Ardy, Mayang, Thoni,
Reza, dan adhek-adhek sepupuku…reza, bagas, aufa, ena, husen, sekar, dan om
rizki dan om Krishna :D
Selamat
Menempuh Hidup Baru untuk teman-teman Happy Family :D