Ini seperti nostalgia. Bukan. Ini
nostalgia. Saya tetap mengingatnya setelah sekian lama. Lama sekali. Menurut saya,
sudah hampir sepuluh tahun. Tetapi, saya
tetap mengingatnya. Nuansa. Hati saya. Sahabat-sahabat saya. Obrolan saya. Dan juga
prinsip saya pada akhirnya.
Saya adalah seorang perempuan
secara harfiah, terlepas dari pemikiran dan cara pandang saya. Islam dalam
segala hal telah memberi rambu-rambunya dalam Al-Quran dan Hadis, termasuk juga
mengatur tentang saya, perempuan. Apa yang dijanjikan kepada perempuan yang
baik dan menjaga kesuciannya? InsyaALLAH suami yang baik juga. Setidaknya saya
percaya dan meyakini itu karena saya mau meberikan yang terbaik untuk suami
saya. InsyaALLAH.
Saya bukan yang sempurna. Saya tahu,
manusia itu tempat sampah, tempatnya kotoran, tetapi manusia juga bukan tempat
yang tak pernah berpikir dan kehilangan kebersihan untuk sesaat. Kalian tahu
rasanya? Bukan seperti ditampar karena jika ditampar, kita tak dapat menyadari
kesalahan. Seperti disapa Surga kalau saya boleh bicara puitis. Maaf untuk
cinta pertama saya di dunia nyata. Saya tahu, kamu tahu saya dan ke-eksissan
perasaan saya kepada dirimu. Maaf. Mencintaimu bukan suatu kesalahan. Jelas. Karena
itu diperbolehkan. Tuhan memberikan perasaan cinta kepada setiap hamba-Nya. Yang
perlu kita tahu hanyalah caranya yang halal. Cuma itu.
Ini surat cinta untukmu. Aku cinta
padamu. Pada pandangan pertama. Ketika kau pun tidak menatapku di pertemuan
kita yang pertama.Cuma aku yang menatapmu. Tapi, aku jatuh cinta pada matamu. Lalu,
goresan penamu. Lalu, suaramu. Lalu, senyummu. Lalu, cara pandangmu. Lalu, aku
mulai bingung menyukaimu karena apa. Karena mencintaimu tak memerlukan alasan. Aku
bahagia melihatmu bahagia. Aku seperti lari dari dunia yang selama ini aku
huni. Kau, kau yang bahkan tak menatapku, seperti mengulurkan tangan,
mengembangkan senyum, dan berkata,”Mau bermain denganku?” aku, hanya menatapmu.
Inikah cinta? Inikah surga dunia? Inikah hadiah Tuhan? Setelahnya, aku
menikmati setiap tulisanmu, pesanmu, suaramu, walau pun kau tak pernah cerita
keluargamu. Aku suka menggenggam tanganmu, aku suka menyentuh punggungmu. Aku suka
kata-katamu,”hilangkan yang kecil dan kecilkan yang besar. Selesai masalahmu!”
Aku suka kamu.suka.suka.suka.sayang.sayang.sayang.sayang.sayang. cinta.cinta.cinta.cinta.cinta.
Sampai suatu hari…
Ini salah. Ada yang salah. Aku ingat.
Ingat apa yang telah aku putuskan, aku pegang, aku yakinni dalam hatiku empat
tahun yang lalu. Ini salah. Aku harus mengakhiri semua ini. Aku yakin cinta
padamu. Tapi salah caranya. Itulah alasan melepasmu. Kamu tahu?
Cinta pertamaku di dunia ku, Ryan
Fikri, begitu tampan, kesempunaan manusia, begitu mendekatkan denganNya, begitu
menyentuh hati, begitu lembut, dan sangat kuat mengikatku. Sayangnya (dan aku
tidak pernah menyesalinya), dia adalah milik Rani dalam dunia Ryan. Cinta para
albana. Cinta para pendakwah. Cinta mereka yang dijalan Tuhan. Cinta mereka
yang pemberani. Dan cinta para pecinta. Mereka menawarkan kepadaku. Apa yang
harus aku lakukan? Kau atau mereka? Kau jelas bukan pilihan. Pada akhirnya,
Tuhan-lah yang memenangkan segalanya. Aku cinta padamu. Aku lebih dan sangat
cinta padaNya.
Jadi, setelah semua itu, setelah
hampir enam tahun berlalu. Setelah keputusan melepas cinta pertama saya dan
enam tahun berikutnya menjadi jawaban semuanya. Apa yang terjadi pada saya? Saya
tetap mencintainya. Saya tetap menyayanginya. Saya tetap munyukainya. Kita berteman.
Dan saya masih hidup. Tidak ada ungkapan,”Aku tak bisa hidup tanpamu.” Hanya saja,
sekuat apa saya berusaha menjadi yang terbaik(saya tulus untuk orang tua saya
tetapi menjadi yang terbaik di matanya adalah alasan yang lain), dirinya tetap
teman saya. Bukankah persahabatan, pertemanan adalah sesuatu yang abadi?
Terima kasih untuk sahabat saya,
Dewi Anggraini, atas bacaan yang mempengaruhi seluruh hidup saya, Diorama
Sepasang Albana oleh Ari Nur. Salam cinta dari ku, Dewi!
Setelah sepuluh tahun, aku
bertemu lagi dengannya, Ryan Fikri. Dia tak berubah. Tetap memukau. Memukau-ku,
sahabat-sahabatku, Dea, dan juga istrinya – Rani. Arsitektur. Agama. Keluarga. Sahabat.
Surga dunia. Dan Cinta. Semua. Ryan Fikri mengajariku. Membimbingku. Membantuku.
Saya berharap menemukan Ryan
Fikri di duniaku yang nyata. Dan tentu saja, saya Rani-nya dia. Amin. Tuhan memebrikan
yang baik kepada yang baik juga. Ingat ini sampai kapan pun.
Terima kasih untuk sahabat saya,
Ana Indarwati dan Asri Dyah yang selalu rajin ke Gramedia sampai akhirnya saya
menemukan persil keduanya, Dilatasi (edisi terbit ulang) oleh Ari Nur yang
seharusnya aku baca Sembilan tahun yang lalu.
Ini yang terakhir. Bacalah Diorama
Sepasang Albana ( Diorama – judul terbit ulang) dan Dilatasi Memori (Dilatasi –
judul terbit ulang) karangan penulis hebat, Ari Nur.
Mempengaruhi saya pertama kali
ketika kelas 4 SD dan membuat saya berdosa kelas 2 SMP, serta menjadikan saya
dewasa ketika saya kuliah semester 3. 10 tahun dan akan terus dalam hidup saya.
Menakjubkan.