Cari Blog Ini

Rabu, 14 September 2011

Surat Cinta


Ini seperti nostalgia. Bukan. Ini nostalgia. Saya tetap mengingatnya setelah sekian lama. Lama sekali. Menurut saya, sudah  hampir sepuluh tahun. Tetapi, saya tetap mengingatnya. Nuansa. Hati saya. Sahabat-sahabat saya. Obrolan saya. Dan juga prinsip saya pada akhirnya.
Saya adalah seorang perempuan secara harfiah, terlepas dari pemikiran dan cara pandang saya. Islam dalam segala hal telah memberi rambu-rambunya dalam Al-Quran dan Hadis, termasuk juga mengatur tentang saya, perempuan. Apa yang dijanjikan kepada perempuan yang baik dan menjaga kesuciannya? InsyaALLAH suami yang baik juga. Setidaknya saya percaya dan meyakini itu karena saya mau meberikan yang terbaik untuk suami saya. InsyaALLAH.
Saya bukan yang sempurna. Saya tahu, manusia itu tempat sampah, tempatnya kotoran, tetapi manusia juga bukan tempat yang tak pernah berpikir dan kehilangan kebersihan untuk sesaat. Kalian tahu rasanya? Bukan seperti ditampar karena jika ditampar, kita tak dapat menyadari kesalahan. Seperti disapa Surga kalau saya boleh bicara puitis. Maaf untuk cinta pertama saya di dunia nyata. Saya tahu, kamu tahu saya dan ke-eksissan perasaan saya kepada dirimu. Maaf. Mencintaimu bukan suatu kesalahan. Jelas. Karena itu diperbolehkan. Tuhan memberikan perasaan cinta kepada setiap hamba-Nya. Yang perlu kita tahu hanyalah caranya yang halal. Cuma itu.
Ini surat cinta untukmu. Aku cinta padamu. Pada pandangan pertama. Ketika kau pun tidak menatapku di pertemuan kita yang pertama.Cuma aku yang menatapmu. Tapi, aku jatuh cinta pada matamu. Lalu, goresan penamu. Lalu, suaramu. Lalu, senyummu. Lalu, cara pandangmu. Lalu, aku mulai bingung menyukaimu karena apa. Karena mencintaimu tak memerlukan alasan. Aku bahagia melihatmu bahagia. Aku seperti lari dari dunia yang selama ini aku huni. Kau, kau yang bahkan tak menatapku, seperti mengulurkan tangan, mengembangkan senyum, dan berkata,”Mau bermain denganku?” aku, hanya menatapmu. Inikah cinta? Inikah surga dunia? Inikah hadiah Tuhan? Setelahnya, aku menikmati setiap tulisanmu, pesanmu, suaramu, walau pun kau tak pernah cerita keluargamu. Aku suka menggenggam tanganmu, aku suka menyentuh punggungmu. Aku suka kata-katamu,”hilangkan yang kecil dan kecilkan yang besar. Selesai masalahmu!” Aku suka kamu.suka.suka.suka.sayang.sayang.sayang.sayang.sayang. cinta.cinta.cinta.cinta.cinta. Sampai suatu hari…
Ini salah. Ada yang salah. Aku ingat. Ingat apa yang telah aku putuskan, aku pegang, aku yakinni dalam hatiku empat tahun yang lalu. Ini salah. Aku harus mengakhiri semua ini. Aku yakin cinta padamu. Tapi salah caranya. Itulah alasan melepasmu. Kamu tahu?
Cinta pertamaku di dunia ku, Ryan Fikri, begitu tampan, kesempunaan manusia, begitu mendekatkan denganNya, begitu menyentuh hati, begitu lembut, dan sangat kuat mengikatku. Sayangnya (dan aku tidak pernah menyesalinya), dia adalah milik Rani dalam dunia Ryan. Cinta para albana. Cinta para pendakwah. Cinta mereka yang dijalan Tuhan. Cinta mereka yang pemberani. Dan cinta para pecinta. Mereka menawarkan kepadaku. Apa yang harus aku lakukan? Kau atau mereka? Kau jelas bukan pilihan. Pada akhirnya, Tuhan-lah yang memenangkan segalanya. Aku cinta padamu. Aku lebih dan sangat cinta padaNya.
Jadi, setelah semua itu, setelah hampir enam tahun berlalu. Setelah keputusan melepas cinta pertama saya dan enam tahun berikutnya menjadi jawaban semuanya. Apa yang terjadi pada saya? Saya tetap mencintainya. Saya tetap menyayanginya. Saya tetap munyukainya. Kita berteman. Dan saya masih hidup. Tidak ada ungkapan,”Aku tak bisa hidup tanpamu.” Hanya saja, sekuat apa saya berusaha menjadi yang terbaik(saya tulus untuk orang tua saya tetapi menjadi yang terbaik di matanya adalah alasan yang lain), dirinya tetap teman saya. Bukankah persahabatan, pertemanan adalah sesuatu yang abadi?
Terima kasih untuk sahabat saya, Dewi Anggraini, atas bacaan yang mempengaruhi seluruh hidup saya, Diorama Sepasang Albana oleh Ari Nur. Salam cinta dari ku, Dewi!
Setelah sepuluh tahun, aku bertemu lagi dengannya, Ryan Fikri. Dia tak berubah. Tetap memukau. Memukau-ku, sahabat-sahabatku, Dea, dan juga istrinya – Rani. Arsitektur. Agama. Keluarga. Sahabat. Surga dunia. Dan Cinta. Semua. Ryan Fikri mengajariku. Membimbingku. Membantuku.
Saya berharap menemukan Ryan Fikri di duniaku yang nyata. Dan tentu saja, saya Rani-nya dia. Amin. Tuhan memebrikan yang baik kepada yang baik juga. Ingat ini sampai kapan pun.
Terima kasih untuk sahabat saya, Ana Indarwati dan Asri Dyah yang selalu rajin ke Gramedia sampai akhirnya saya menemukan persil keduanya, Dilatasi (edisi terbit ulang) oleh Ari Nur yang seharusnya aku baca Sembilan tahun yang lalu.
Ini yang terakhir. Bacalah Diorama Sepasang Albana ( Diorama – judul terbit ulang) dan Dilatasi Memori (Dilatasi – judul terbit ulang) karangan penulis hebat, Ari Nur.
Mempengaruhi saya pertama kali ketika kelas 4 SD dan membuat saya berdosa kelas 2 SMP, serta menjadikan saya dewasa ketika saya kuliah semester 3. 10 tahun dan akan terus dalam hidup saya.
Menakjubkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar